Minggu, 07 Agustus 2011

Orang Gila di jalanan







Saya tinggal di Bandung, dan biasanya untuk ke tempat kerja saya naik sepeda motor. Karena kebiasaan mengendarai sepeda motornya nyantai maka saya bisa melihat-lihat situasi yang ada di sepanjang jalan. Dari rumah ke tempat kerja berjarak sekitar 10 KM. Jikalau tidak terlalu padat, maka saya bisa menempuh perjalanan tersebut di dalam waktu 25 menit, dan kalau banyak kemacetan maka saya bisa mencapainya sampai 40 menit. Karena sudah terbiasa menempuh jarak tersebut, jarak yang saya tempuh untuk ukuran saya ya tidak terlalu jauh.

Sambil santai, tidak perlu dikejar-kejar waktu, karena memang tidak ada yang mengejar-ngejar, saya duduk nyaman sambil bisa bersenandung, merenung/berpikir atau hanya melihat-lihat pemandangan di seputar jalan.

Saya pernah iseng menghitung jumlah orang gila sepanjang jalan yang saya temui.

Pertama adalah seorang laki-laki yang sangat suka telanjang, dengan perawakan yang atletis, serta berambut gimbal. Radius berkelananya sepanjang jalan tersebut.

Kedua adalah seorang wanita paruh baya yang bersolek bak seorang biduan, dengan seragam yang selalu berganti-ganti, dengan tampang maco serta dan teriakan-teriakan yang membahana.

Ketiga dan keempat adalah sepasang pria wanita, yang dengan pakaian lusuhnya atau kadang bahkan hanya pakai pakaian sekedarnya, saya lihat sering bergandengan tangan bak orang pacaran.

Kelima adalah seorang wanita muda yang selalu tampil rapi meskipun dengan baju yang rombeng, selalu tanpa ekspresi berjalan kaki melintasi jalan tersebut, sambil menjinjing tas plastik dan seolah-olah seperti orang yang sibuk menger waktu. Wanita ini selalu saya lihat selalu sedang berjalan, tidak pernah aku lihat dia duduk, diam, atau hanya sekedar berdiri. Wajahnya keras, kurus dengan otot-otot kaki yang sangat kuat menjelajah jalan tersebut.

Keenam adalah seorang laki-laki yang berumur paruh baya, berambut gondrong, yang selalu berjalan dengan tersenyum dan berbicara sendiri.

Ketujuh adalah seorang pria yang setiap pagi sampai siang selalu dengan setia bertahta di bawah jalan layang perempatan Jl. Cihampelas. Selalu berpakaian rapi, tampak terurus dengan muka yang serius, maka dia selalu berbicara bak seorang guru dihadapan muridnya serta tangannya tidak pernah lepas dari kapur putih dan mencorat-coret tulisan di tiang-tiang beton jembatan layang,

Kedelapan adalah seorang lelaki tua yang hanya berpakaian sarung lusuh usang.

Kesembilan adalah adalah seorang wanita setengah baya, yang bergaya bak seorang pandai dengan bahasa Inggris dan Indonesia serta model pakaian yang vulgar. Selalu berkeliaran di sebuah universitas.

Kesepuluh, … mungkin saya sendiri. J

Saya menghitung, jikalau jumlah rata-rata orang gila dibandingkan km jalan yang saya lalui adalah 1:1. Setiap km motor saya melangkah, saya menemukan 1 orang gila. Jikalau saya menggunakan ukuran jalan propinsi dan jalan negara di provinsi Jabar sebagai patokan, maka jumlah orang gila sebanding dengan angka 3340 orang gila. Belum lagi jikalau jalan kabupaten atau jalan lokal lainnya dihitung.

Apakah benar demikian? Bagaimana dengan orang gila yang tidak luntang-lantung di pinggir jalan?

Saya kemudian searching di internet, dan menemukan fakta yang lebih mengejutkan saya, di dalam Harian Pikiran Rakyat terbitan Oktober 2008, disebutkan angka yang lebih fantatis 37% warga Jabar sakit gila. (link. PR), dari tingkat yang rendah sampai yang tinggi. Diungkapkan juga melonjaknya jumlah kunjungan orang yang sakit menjadi 100 orang per hari di RSJ Bandung. Sedangkan angka yang lebih konservatif adalah sekitar 20%, atau 1 dari 5 orang dewasa menderita penyakit ini. Kemudian data lain yang mengemuka adalah bahwa tingkat bunuh diri sangatlah tinggi, yaitu mencapai 837.000 per tahun menurut perhitungan WHO. Satu dari 3 orang yang kita temui adalah orang gila. Waspadalah!!

Ketika menulis ini, saya menjadi miris, ngeri tetapi juga lahir belas kasihan. Ternyata iseng-iseng hitungan jumlah orang gila sepanjang jalan dari rumah ke tempat kerja, hanyalah merupakan puncaknya puncak gunung es dari jumlah orang gila yang sesungguhnya.

Saya dan anda ternyata mempunyai potensi dan sangat berpotensi untuk gila, mungkin di dalam level yang rendahnya adalah stress dan depresi.

Dan bagaimana dengan orang yang di dalam kegilaannya mereka masih dapat tampil seperti orang waras. Jumlahnya pasti lebih banyak lagi bukan?

Bukankah ini adalah dunia orang gila yang sebenar-benarnya?

Si Orang Gila Madman (Nietzche), seorang filsuf yang lahir pada tahun 1844 di Jerman menulis :

“Cerita ini merupakan sejarah dua abad mendatang… Setelah sekian lama seluruh peradaban berkembang, dengan intensitas yang berkembang dari dekade ke dekade, seolah menuju suatu bencana: ngotot, kasar, gaduh, seperti bengawan yang mengingini akhir perjalanan, tanpa jedah untuk mawas diri, namun takut akan bayangan… Di mana kita hidup, sebentar lagi tak seorang pun mampu bertahan hidup.”

Dan di dalam kalimat tersebut sepertinya Nietzsche sedang menubuatkan kegilaan yang terjadi di masa yang akan datang.

Sedangkan Ronggowarsito, dari tanah Jawa, yang lahir sebelumnya pada tahun 1802 sepertinya memberi nasihat kepada situasi yang diramalkan oleh Nietzsche, yaitu datangnya Jaman Edan. Pertama kali tulisan ini diperkenalkan dalam Serat Kalatidha, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Berikut, salah satu baitnya:

amenangi jaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.

terjemahannya sebagai berikut:

menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Jikalau Ronggowarsito mengingatkan untuk “eling” kepada Tuhan sebagai pengingat supaya tidak jatuh di dalam kegilaan, sedangkan Nietzsche justru memulainya dengan ritual membunuh Tuhan yang dia lakukan sebagai awal dari kegilaannya:

Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita?. . . Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]? Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125

Ah, apakah ini dunia orang gila?

Dan sejujurnya saya dan anda juga mengandung kegilaan.

Tetapi bersyukur, dengan menghitung orang gila di jalan membuat saya sadar bahwa saya pun mempunyai potensi yang sama seperti mereka. Coba bayangkan hal itu benar-benar terjadi! Dan saya lebih memilih untuk “eling” kepada TUHAN sebagai sumber pengharapan, kasih, anugrah dan kebenaran yang sejati, dari pada saya menjadi “Tuhan” bagi diri saya sendiri, sehingga ada Tuhan yang menyapa saya di dalam kasih, anugrah dan kebenaran Nya saat saya gelisah dan tertekan di dalam jiwa saya.

“Semoga kamu sehat dan baik-baik saja ya nak”, demikianlah nasihat orang tua saya. Secara eksplisit sebenarnya kata tersebut bermakna, “Semoga kamu sehat dan tidak gila ya nak.” He he he ;)

Salam Taklim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar